Terima Kasih Telah Berkunjung ke Unclebonn.com Kultur yang Gemar Pesta - unclebonn.com

Saturday, July 10, 2021

Kultur yang Gemar Pesta


Dalam sebuah perayaan ekaristi di sebuah pesta syukuran keluarga seorang imam menyinggung bahwa kultur kita itu suka pesta. Tapi si imam tersebut memperhalus kata-katanya lagi bahwa pesta itu baik karena membangun silahturahmi


Saya sepakat kalau dikatakan bahwa kultur kita memang doyan pesta.


Baca Juga : Menjadi Sombong Itu Penting, Guys


Beberapa kesempatan saat melayat atau menghadiri upacara pengebumian rasa belasungkawa yang dipenuhi kesedihan mendalam itu sepertinya mulai pudar. Orang lebih suka kongkow bareng teman disampingnya atau rombongannya. Yang ada bahwa hadirnya seseorang ke tempat duka itu lantaran bentuk balas jasa atau kebiasaan untuk memenuhi wujud rasa simpati. Terkecuali ia teman dekat atau anggota keluarga rapat. Ekspresinya pasti sangat sedih.


Suatu saat bisa saja mind set kita akan dibalik bahwa kematian itu bukan sebuah akhir peristiwa hidup yang menyedihkan tapi diartikan sebagai sebuah kemenangan atas penderitaan hidup. Ayo rayakan kemenangan itu. Bisa saja nanti beberapa puluh tahun yang akan datang rumah duka akan dipenuhi musik, dan kegembiraan dalam bentuk lain.


Baca Juga : Menjual Kemiskinan


Dalam konteks duka cita saja minimnya ekspresi kesedihan yang mendalam bagaimana di acara yang penuh suka cita? 


Kita bisa lihat bagaimana di NTT pada umumnya himpitan ekonomi tak menghalangi orang untuk membuat pesta


Ada beberapa faktor yang menyebabkan orang mau membuat pesta sebagai berikut: mengungkapkan rasa syukur, menjalankan kebiasaan, punya modal kalau tanpa modal pasti melalui patungan keluarga, menyenangkan anggota keluarga dan terakhir berkaitan dengan testa (gengsi).


Baca Juga : Wajah Sekolah


Acara apa saja selalu serba pesta. Rata rata di daratan Timor acara patah pinggang atau melantai lebih diutamakan ketimbang acara jamuan makan. Walau menu makanan tetap menjadi prioritas. 


Pesta itu bisa dibuat dalam konteks mensyukuri kelulusan, menerima job baru, menempati rumah baru, pernikahan, dan lain sebagainya. Itu urusan yang terkait dengan pekerjaan atau usaha. Tidak beda jauh, acara-acara yang sifatnya religi. Komuni pertama, Natalan, Valentine Day, bahkan paskah, misal, bisa dirayakan dengan pesta. Kenapa saya bilang dengan pesta? Doa dan makna rasa syukurnya terseret oleh gemerlap tenda pesta, orang malah lebih konsentrasi menanti acara bebasnya : dansa, joget, nyanyi-nyanyi, karaoke, dan beragam versi lainnya.


Baca Juga : Harta, Tahta Dan Wanita


Kenapa ini bisa terjadi? Ini terjadi adanya perpaduan budaya dan modernitas. Acara syukuran selalu ada embel-embel pesta poranya. Pesta tanpa dansa, tanpa goyang, tanpa acara bebas kesannya kurang lengkap, kurang sempurna. Acara  bebas ini bisa dilakukan sampai pagi hari.


Namun akhir-akhir ini sering adanya keributan-keributan maka acara bebasnya sudah mulai dibatasi. Apalagi dimasa pandemi Covid-19 ini. Mungkin kita mesti taat prokes daripada memaksa kehendak untuk syukuran (bahasa yang paling rendah hati) demi keselamatan diri sendiri dan orang lain.


Baca Juga : Lingkaran Dalam


Seandainya saja orang lebih mengamalkan ajaran kasih, modal yang disiapkan untuk acara syukuran disumbangkan untuk anak yatim dan fakir miskin itu jelas sesuatu yang luar biasa. 


Tapi ini sulit rasanya karena kita telah diikat oleh budaya. Seperti yang saya bilang bahwa kita mempunyai kultur yang gemar pesta. Bagaimana?


No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!