Terima Kasih Telah Berkunjung ke Unclebonn.com Lompatan Jauh Kedepan - unclebonn.com

Tuesday, December 29, 2020

Lompatan Jauh Kedepan

Judul tulisan ini dipilih karena terinspirasi dari platform yang diusung oleh (Ketua Mao)-Zedong  pada era revolusi kebudayaan China (1958-1966) yaitu Lompatan Jauh Kedepan.


https://www.unclebonn.com/2020/12/lompatan-jauh-kedepan.html

Kita perlu belajar dari bangsa lain.  Bangsa-bangsa di dunia yang akhir-akhir ini tampil memesona adalah sebuah bangsa yang terlahir dari proses pembelajaran pada peristiwa kelam masa lalu. Mereka begitu banyak mengalami sebuah masa transisi. Kemudian mereka tampil sebagai sebuah bangsa yang mapan karena mereka berani mengambil sikap progresif-revolusioner untuk keluar sebagai bangsa yang maju.

Sebuah gerakan  revolusi akan berimplikasi pada aspek kehidupan manusia secara cepat dan drastis.  Kekuatan gerakan revolusi ini juga akan bersinggungan dengan struktur sosial masyarakat atau terhadap habitus klasik manusia yang  ada pada masyarakat pada umumnya.  Kemudian pada praktiknya, gerakan revolusioner mengakibatkan juga terjadinya tragedi kemanusiaan.

Kendati demikian di sisi lain memberi hikmah. Bahwasanya orang akan selalu belajar dari pengalaman pahit masa lalu.  Lalu, menjadikan pengalaman itu sebagai lecutan semangat dalam merubah diri ke arah yang lebih baik, lebih maju, tangguh, dan bermartabat.  

Deng Xiaoping yang menggantikan Ketua Mao, sebelum menduduki tampuk kekuasaan pemikirannya ditolak oleh rakyat China namun pada akhirnya diterima.  Ia mengatakan bahwa, “Orang harus keluar dari sawah untuk bisa lihat lumpur di kakinya”.  


Baca Juga : Buya Syafii Suar Bangsa Yang Masih Bercahaya


Dengan pemikiran Deng yang visioner ini ternyata memberi suasana baru dalam kehidupan sosial-politik China yang isolasi (tertutup) terhadap dunia luar.  Dan pada akhirnya China pun merubah diri dengan faham politik yang lebih terbuka.  

Deng pun kembali menegaskan dalam pernyataannya kepada rakyat China bahwa “menjadi kaya itu mulia”.  Inilah sebuah retorika inspiratif yang terus membumi bagi rakyat China hingga  saat ini.


Begitupun bangsa Israel, berpuluh tahun mereka hidup secara sporadis.  Peristiwa hollocoust adalah pil pahit bagi bangsa Israel yang diberi oleh Adolf Hitler di era kekuasaan NAZI-Jerman.  Mereka bukanlah bangsa yang traumatik, melainkan mereka berusaha bangkit, belajar, berjuang keras, dan pantang menyerah. Sporadisme bukan berarti menceraikan, melainkan bagai rantai yang mengikat rasa emosional “nasionalisme” mereka.  Akhir dari kegigihannya, mereka dapat mewujudkan berdirinya Negara Israel pada tahun 1948.


Jepang pun demikian. Ketika masa restorasi Meiji gerakan pendidikan mulai difokuskan.  Walaupun kala itu sistem pendidikan masih bersifat feodalistik.  Pendidikan hanya untuk kalangan bangsawan, tentara, dan kaum ksatria (bushido) saja.  Jepang pernah luluhlantak akibat bom atom sekutu.  Dua kota besarnya (Hiroshima dan Nagasaki) hancur di bom.  Apa yang dilakukan oleh pemimpin Jepang kala itu? Mereka mengumpulkan guru-guru demi menyiapkan masa depan bangsa yang maju.  


Bagi presiden AS ke-2 John Adam, dia memiliki intuisi yang kuat mengenai pentingnya pendidikan bagi bangsa Amerika.  Ia menyatakan, “Pembangunan pendidikan rakyat jelata lebih penting daripada harta milik orang-orang kaya di seluruh Negara”. John Adam mengerti benar bagaimana menginvestasi pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Amerika selanjutnya.


China, Israel, Jepang, dan juga Amerika Serikat adalah contoh Negara-negara yang selalu belajar dari pengalaman kelam masa lalu.  Mereka lebih fokus dan mengandalkan pendidikan dalam pemajuan bangsa.  Dan akhirnya mereka hadir sebagai kekuatan kawasan, bahkan menjadi kekuatan utama dunia.


Membangun Sumba

Orang Sumba (tau humba) perlu belajar dari pengalaman sejarah, lalu mencermati sejarah dalam fase dan periodisasinya.  Hal ini penting agar kita dapat menakar peradaban masyarakat di masa lampau.  Dengan pengetahuan yang dimiliki itu, tentunya dapat dijadikan sebagai dasar dalam menelusuri lorong sejarah.

Dalam perspektif konstruktivisme belajar berarti membentuk makna.  Makna yang diciptakan individu dari apa yang individu itu lihat, dengar, rasakan, dan alami.  Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta melainkan  lebih beroreantasi pada pengembangan berpikir dan pemikiran dengan cara pengertian baru.  


Belajar bukanlah hasil dari perkembangan melainkan perkembangan itu sendiri. Dari pemahaman ini, titik awalnya kita menelusuri peradaban, selanjutnya dijadikan pemacu untuk melompat jauh ke depan.  

Sejarah Sumba bukan diawali sejarah yang bermuara dari pendidikan sehingga masyarakat awal “maaf” masih primitif. Peninggalan sejarah berupa aksara-aksara kuno tidak ditemukan.   Sumber sejarah masih berupa budaya tutur, atau melalui simbol-simbol pada bangunan/batu-batu yang ada.


Baca Juga : Dulu Lawan Kini Kawan, Politik Itu Cair Dan Unpredictable, Bro!

Sementara itu pada masa pemerintahan kolonialis semua kegiatan pembangunan hanya berpusat pembuatan rumah tinggal dan membangun kampung (kotaku), membangun negeri (paraingu) serta menjalankan usaha dalam bidang pertanian dan perternakan yang semuanya selalu dikaitkan dengan ritual-ritual pemujaan leluhur, demikian tulis Umbu Pura Woha dalam bukunya Sejarah Pemerintahan di Pulau Sumba (2008:305).

Dari catatan ini, bahwa gerakan pembangunan yang digalakan oleh penjajah masih pada tataran pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, sandang, dan papan).  Selain itu walaupun di dunia peternakan menjadi salah satu oreantasinya namun program tersebut bertendensi bagi kaum kolonialis. Pembangunan yang mengarah pada peningkatan kualitas SDM miskin dilakukan.

Kaum penjajah juga melegatimasikan kekuasaanya dengan membentuk raja-raja kecil.  Penerapan metode kekuasaan secara feodalistik adalah cara ampuh yang ditempuh kaum penjajah untuk menguasai.  Dalam perjalanan waktu metode seperti ini akan menyebabkan bias kultural yang membudaya.  Produk-produk penjajah seperti ini pula, bila dibawah pada ruang modernitas menjadi masalah tersendiri.

Masyarakat Sumba Timur pada umumnya adalah masyarakat agraris dan peternak. Hasil pertanian mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.  Hasil ternak sudah banyak diekspor ke luar negeri.  Bahkan ada raja-raja tertentu yang memiliki ternak ribuan ekor.  Tekstur tanah serta padang sabana yang membentang memang cocok untuk pertanian dan peternakan.  Bumi merapu menjanjikan kesejahteraan bagi anak-anak sumba.  Hal ini terpatri dalam logo kabupaten Sumba Timur, “Matawai Amahu Padanjara Hamu”.


Baca Juga : Pemimpin Yang Tuntas Dengan Urusan Pribadinya Karena Jabatan Itu Amanah Dan Tanggung Jawab

Menyelami sebuah pola kebiasaan masyarakat perlu dilakukan secara cermat, dikaji secara kolektif oleh anak-anak Sumba Timur.  Secara tradisional pula kita memiliki kearifan lokal (local wisdom). Seperti penuturan tentang sejarah, yang bahkan ada bagian-bagian yang berupa mitos dan legenda, dilakukan oleh orang-orang tua yang sudah berpengalaman dan memiliki bakat “mengingat”  dalam upacara-upacara tertentu.   


Isi sejarah ini merupakan hasil himpunan-himpunan ucapan-ucapan para “ratu” (imam) pada upacara “hamayangu” (sembayang), para “wunangu” (ahli bicara) pada upacara “tunggu lii” (pidato) dan para “maludu” (penyanyi) pada upacara-upacara “Langu Paraingu” (kenduri negeri/tahun baru), “Pamau Papa” (upacara perkawinan), “Yo yela” dalam upacara kematian (“Lii Meti”) serta dalam “padudurungu” (ratapan), Umbu Pura Woha-dalam Buku Sejarah, Musyawarah & Adat Istiadat Sumba Timur (2008:5-6).


Hal di atas adalah fakta sejarah, yang merupakan sebuah warisan yang perlu dilestarikan sebagai asset daerah dan kekayaan budaya bangsa.  Selain itu kentalnya hubungan kekerabatan  (panggolu) yang erat adalah perekat jalinan antar warga masyarakat.

 

Kita juga perlu menyadari pola hidup masyarakat yang masih dalam wawasan feodalisme serta kentalnya primordialistik. Kita juga tidak bisa memungkiri pola-pola seperti ini berpotensi akan melahirkan masalah internal di tengah modernitas.  Oleh karena masyarakat pseudo modern memiliki cara pandang terhadap warisan budaya itu sendiri.

Disinilah kita membutuhkan terobosan.  Maukah kita menerima rasionalitas ilmiah modern untuk menggantikan budaya foedalistik atau tetap mempertahankan status quo kulturalistik?   Barangkali kita menempuh jalan baru dengan men-set up bangunan pikiran kita yang lokalitas dengan pola pikir baru-rasionalitas ilmiah modern.   Atau apabila kita mau meminjam cara pikir SBY yang tertuang dalam buku Kita Bisa (2008), “thinking outside of the box”.  


Pola pikir (mind set) demikian tentunya kita perlu gaya kepemimpinan modern.  Sebuah gaya kepemimpinan yang terlahir dari produk pendidikan.

Seorang pemimpin modern tidak sekedar menampilkan konsep dalam tawar menawar politiknya.  Tapi mampu menampilkan cetak biru (blue print) sekaligus ada kontrak komitmen dalam mewujudkan itu. Kepemimpinan modern adalah sebuah kepemimpinan yang reformis dan transformatif dalam menanggapi dinamika zaman.

Sumba Timur memiliki sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) sebagai energi untuk melompat lebih jauh ke depan.  Semua wilayah adalah daerah yang cocok untuk peternakan.  Sebagiannya lagi adalah daerah persawahan dan ladang.  Kain sumba yang eksotik telah menembus pasar luar negeri.  Sepanjang pesisir pulau sumba adalah lokasi yang cocok untuk membudidayakan rumput laut dan laut kita memiliki potensi perikanan tangkap yang besar.

Namun kita memiliki kendala dalam mengeksplorasi kekayaan alam itu.  Masalahnya adalah kesedian sumber daya manusia yang berkualitas dan juga berkualifikasi.  SDM kita masih bekerja dibelakang meja.  Kita masih menanti kemampuan pemerintah daerah dalam meramu formula pendidikan dan manajemen pengelolaan SDM yang efektif dan efisien. 

Untuk pembangunan dan pemajuan pendidikan, kita kembali belajar dari China dan Jepang.  Mereka membangun  pendidikan tanpa perlu meninggalkan kekhasan budayanya.  Israel dikenal sebagai bangsa yang cerdas namun mereka tetap mencintai tanah air mereka.  Amerika Serikat mampu menciptakan soft power melalui regulasi pendidikan yang independen dan memahami universalitas. Jangan heran, dengan pendidikannya itu mereka bisa menduniakan Amerika Serikat.

Sumba Timur bisa bermimpi sekaligus mewujudkan mimpinya (the power of dream) untuk menjadi daerah yang maju, kuat, dan bermartabat.  Program strategisnya adalah bagaimana menginvestasi pendidikan secara berkesinambungan.  Maksudnya pemerintah perlu merancang format program pendidikan secara berkala, fokus dan sistematis.

Program strategis lainnya adalah pemerintah mau menggelontorkan dana untuk meciptakan guru-guru berkualitas.  Selain itu dunia pendidikan perlu dibangun dalam sebuah kerangka independensi, egaliteral, fraternit. Kepemimpinan oleh kepala sekolah penerapannya  demokratis, transparansi dan menjunjung tinggi azas profesionalitas.   


Dunia pendidikan kita perlu melakukan pemetaan (maping) untuk mengidentifikasi kuantitas dan kualitas tenaga pendidik.  Kemudian menempatkan dan merotasi guru-guru berkualitas pada daerah-daerah terpencil.

Pemerintah perlu juga menciptakan kegiatan-kegiatan yang menstimulun minat baca masyarakat.  Masyarakat Sumba Timur harus menjadi masyarakat yang haus ilmu.  Bagi bangsa Jepang mereka memiliki prinsip dimana ada kehidupan disitu ada kegiatan membaca.  Pemda Sumba Timur perlu melaksanakan program beasiswa bagi siswa-siswi berprestasi untuk dikirim belajar ke luar pada universitas atau perguruan tinggi yang terkemuka.

Jepang dan China pada saat masa transisi mereka berusaha sekuat tenaga mengirimkan putra-putri terbaiknya untuk belajar ke luar negeri setelah itu mereka kembali membangun bangsa. Program-program besar ini tidak gampang, tapi melalui komitmen dan dukungan politik pasti terwujud.


Baca Juga : Berdemokrasi Tanpa Baper!

Untuk pembangunan seperti dicita-citakan, segalanya membutuhkan dana yang besar.  Melihat hal ini, propinsi Jawa Timur mematrikan dalam bentuk tulisan di logo pemerintahannya, “Jer Basuki Mowo Beo” yang berarti segala sesuatu membutuhkan dana. 

Dalam kondisi demikian bukan berarti kita pasrah dengan keadaan tapi kita berusaha  menemukan solusinya dalam rangka mengentaskan aneka problematik daerah.


Menjadi Tuan Di Negeri Sendiri

Di masa yang akan datang tidak ada lagi kelas-kelas sosial dalam struktur kehidupan masyarakat untuk menjadi orang hebat.  Hal ini disebabkan generasi sekarang adalah generasi yang terlahir dari keluarga-keluarga dalam masyarakat yang pluralistis dan heterogen.  


Dengan demikian, kemungkinan tidak ada lagi pembedaan antara “anak tanah” dan “anak pendatang”.  Generasi muda yang akan datang akan mengalami sebuah dinamika gerakan demokratisasi dan pemuliaan HAM.

Untuk menyikapi masalah ini sudah saatnya pemerintah daerah menyiapkan generasinya yang berkualitas sebagai bentuk regenerasi.  Hal ini memang penting dilakukan karena kita butuh pemimpin masa depan Sumba Timur.  


Baca Juga : Apa Itu Nasionalisme?


Saatnya pemerintah menuangkan program dalam perangkat hukum gerakan cerdas anak pribumi.  Harus menggalakan moderenisasi sampai ke pelosok-pelosok desa.  Gerakan ini bukanlah sebuah gerakan diskriminatif melainkan harmonisasi untuk masa depan dalam mewujudkan Sumba Timur berkarakter.

Dari produk-produk tempaan pendidikan ini, pemimpin yang terlahir adalah pemimpin yang menghargai intelektualitas, keprofesian, dan menghargai dedikasi setiap warga masyarakat.  Pemimpin ini akan membawa Sumba Timur pada peri kehidupan yang baru dalam sebuah harmonisasi kehidupan yang saling menghargai.  Atau dalam sebuah tatanan kehidupan yang penuh kasih dan kebenaran.   


Dengan semangat demikian tentunya akan menuntun kita menjadi orang yang selalu mau belajar karena dari energi belajar itu akan berubah menjadi elan kreatifitas yang akan mengantarkan Sumba Timur menjadi sebuah daerah yang maju, tangguh, kompetitif, dan bermartabat. Bagaimana tau humba?*


Mangili, 3/12/2010

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!