Terima Kasih Telah Berkunjung ke Unclebonn.com Cerita Hidup Toleransi dari Manggarai (Flores) sampai ke Kaliuda (Sumba) Ternyata Cukup Sederhana - unclebonn.com

Monday, December 21, 2020

Cerita Hidup Toleransi dari Manggarai (Flores) sampai ke Kaliuda (Sumba) Ternyata Cukup Sederhana


https://www.unclebonn.com/2020/12/cerita-hidup-toleransi-dari-manggarai.html

Menjadi Indonesia sebenarnya cukup sederhana. Untuk hidup harmoni (selaras,  serasi dan seimbang) kita cukup mengambil sikap toleransi.  Toleransi itu seperti air dan minyak. Bersatu namun tidak dapat bercampur. 


Kita mengambil sikap hidup toleransi tanpa perlu kuatir dengan keimanan kita. Menghormati atau menghargai orang lain yang berbeda keyakinan,  berbeda budaya, berbeda etnis, berbeda bahasa, berbeda warna kulit itu adalah perilaku luhur. Toleransi dianggap sesuatu sikap menghormati dan menghargai perbedaan dalam keberagaman.


Soal sikap toleransi ini ada realita unik. Jika Anda ke Flores (beberapa tempat di Manggarai) - mendengar atau membaca nama seperti Husein Pancratius, Edward Sulaiman Geong, Aloysius Rahmad Aliman, Fransikus Xaferius Nur Arifin, Natalia Siti,dan lain-lain jangan dulu menganggap  mereka itu seorang mualaf atau anggota baru gereja. Atau ketika nama-nama itu berada di sekitarmu dan makan daging babi jangan kamu merasa risih atau langsung marah-marah. Mereka itu orang Katolik asli. Atau penduduk asli Manggarai yang beragama Katolik. 


Baca Juga : Tak Perlu Iri Dengan Kehidupan Orang Lain Karena Setiap Orang Punya Rezeki Masing-Masing


Nama-nama itu disematkan ke mereka karena latar belakang keturunan. Selain itu, pemberian nama pada anak keturunan mereka  sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang mereka yang Islam. Dan pemberian nama yang nuansa Katolik-Jawa-Islam ini sudah membudaya di daerah itu. Ini kisah dari Flores. Kisah dari Manggarai yang bersikap toleran kepada leluhur atau kepada keluarga yang dihormati. 


Lalu bagaimana keunikan yang eklusif dari Sumba?


Admin mengambil salah satu kabupaten di Sumba yakni Sumba Timur. Sebuah kabupaten yang kental dengan budaya dan adat istiadatnya. 


Jika kamu seorang Katolik kamu pasti tahu apa itu rosario kan? Atau  biasa juga disebut kontas.  Salah satu sarana doa yang biasa dipakai umat Katolik.  Rosario kalau di beberapa daerah di NTT adalah barang eklusif. Hanya bagi umat kalangan gereja Katolik. Rosario sendiri identik dengan bulan rosario. Namun pada praktik hidup dalam iman katolik rosario itu memiliki pemaknaan yang dalam dan sakral. 


Tapi, di Sumba Timur Anda akan melihat kontas ini kerap dipakai oleh remaja kita yang kristen  (Protestan). Mereka cukup bangga menggunakan rosario ini sebagai aksesoris tambahan bagi mereka. Baik di sekolah atau di lingkungan mereka. Dan Anda akan menjumpai keunikan ini. Mereka tentu mendapatkan dari keluarga mereka yang katolik atau sekedar meminjamnya dari temannya yang katolik. Itulah NTT hari ini yang tumbuh dalam keberagaman. 


Bagi Admin, ini sesuatu yang baik walau secara substansi agak melenceng dari fungsinya. Bahwa rosario bukan aksesoris atau sebagai simbol kekristenan semata. Seperti sudah disebutkan diatas rosario bermakna dan juga sakral dalam umat katolik pada umumnya atau kelompok-kelompok doa tertentu. Jangan anggap ini "penistaan". Tinggal bagaimana kita memaknai itu semua secara bijak dan arif dalam konteks kekinian.


Masih dari Sumba Timur. Jika Anda sempat mengunjungi Mangili, Desa Kaliuda, kecamatan Pahunga Lodu soal sikap toleransi itu sudah berakar secara budaya bahkan sudah menjadi praktik hidup umat beragama di sana. 


Baca Juga : Upah Sebuah Kebaikan


Jika hari raya tiba terutama Idul Fitri dan Natal maka yang merayakan dia yang datang memberi selamat atau membagikan suka cita kepada pemeluk agama lain yang tidak merayakan. Ini unik. Mestinya yang tidak merayakan yang datang memberi ucapan atau selamat. Ini mesti dilakukan setelah sholat ied atau setelah ibadah atau misa natal. Bukan hanya dalam ungkapan rasa. Kue-kue khas natal maupun lebaran akan diberikan kepada yang tidak merayakan. 


Nanti balasannya akan dilakukan pada sore hari (maghrib) maupun menjelang malam. Bagi keluarga yang sudah dikunjungi mereka akan melakukan kunjungan balasan. Praktik toleransi seperti ini sudah dilaksanakan berpuluh-puluh tahun lamanya di Desa Kaliuda


Akhirnya bisa dikatakan bahwa toleransi itu dari niat kemudian dilaksanakan atau dijalani dengan senang hati. Melaksanakan toleransi tidak pernah mengurangi keimanan seseorang.*


No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!